Wilujeng Sumping, alias SELAMAT DATANG... di blog simkuring... moga-moga aya manfaat nu tiasa katampi... hapunten nu kasuhun... bilih aya raheut manah...

10 December 2010

KILAS BALIK PERISTIWA ASYURA

Kebanyakan kaum muslimin sering mempermasalahkan perbedaan hari dalam merayakan Idul Fithri dan Idul Adha ketika tinggi hilal memungkinkan terjadinya perbedaan dalam mengawali shaum Ramadhan dan awal Dzulhijjah. Tapi, jarang kita temukan di antara mereka [atau bahkan kita sendiri] mempermasalahkan dan memperhatikan tibanya awal bulan Hijriyah bagi bulan-bulan yang lainnya, termasuk untuk bulan Muharram. Padahal di bulan-bulan ini pun ada syariat shaum sebagaimana Ramadhan dan Shaum Arafah. No



Dalam bulan Muharram, kita mengenal istilah Asyura. Bagi kaum muslimin, Asyura memiliki nilai kesejarahan yang amat berharga sekaligus memedihkan hati. Dirujuk pada beberapa riwayat, kita akan mendapatkan beberapa kejadian bertepatan dengan Asyura yang sangat penting bagi produk sejarah umat manusia.

Banjir Bandang Zaman Nabi Nuh
Dalam riwayat Ahmad yang bersumber dari Abu Hurairah, melalui jalur sanad Syubail bin ‘Auf disebutkan, bahwa Asyura itu adalah suatu hari di mana perahu Nabi Nuh as berhenti di suatu tempat (al-Judi) setelah banjir bandang yang menimpa kaumnya mereda.

Karamnya Fir’aun di Sungai Nil
Rasulullah Saw bersama para sahabatnya hijrah dari Mekah ke Yatsrib (Madinah). Mereka tiba di Madinah pada bulan Rabi’ul Awwal. Sembilan bulan kemudian, tatkala masuk bulan Muharram, mereka mendapati orang-orang Yahudi melakukan shaum Asyura. Rasulullah Saw bertanya, “Shaum apakah ini?”. Jawab mereka, “Ini adalah hari yang baik (agung). Hari inilah, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Karena itulah, kami shaum hari ini sebagai tanda penghormatan dan pengagungan terhadap peristiwa itu”.
“Kami lebih berhak (menghormati) Nabi Musa daripada kalian,” timpal Rasulullah Saw. Untuk itulah, beliau mempertegas perintahnya kepada para sahabat untuk melakukan shaum Asyura yang sebelumnya sudah terbiasa mereka lakukan ketika berada di Mekah.

Shaum Quraisy Jahiliyah
Dalam riwayat Aisyah, sebagaimana di-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, disebutkan bahwa orang-orang Quraisy Jahiliyyah suka melaksanakan shaum Asyura. Rasulullah Saw dan para sahabat pun, ketika masih berada di Mekah, sering melakukan shaum Asyura ini.

Bagi kaum Quraisy Jahiliyah, mungkin shaum Asyura merupakan peninggalan syariat dari umat yang sebelumnya. Untuk itulah, pada Asyura ini mereka mengagungkannya dengan memasang kiswah Ka’bah dan pengagungan lainnya. Dalam Majalis al-Bagandi al-Kabir disebutkan bahwa Ikrimah pernah ditanya tentang shaum mereka, kata Ikrimah, “Orang-orang Quraisy pada masa Jahiliyah ketika telah berbuat dosa, dikatakan kepada mereka, ‘Shaumlah pada hari Asyura, niscaya akan diampuni”. (Fath al-Bary)

Karbala
Di samping itu semua, Asyura menyimpan sebuah kenangan pahit bagi kaum muslimin. Tahun 61 H, cucu Rasulullah Saw, al-Husain bin Ali bin Abu Thalib, dan para pengikutnya dibantai oleh para pengkhianat dari Kufah. Betapa getirnya jika kita membuka kembali lembaran sejarah bagaimana para pengkhianat Kufah memperlakukan jenazah al-Husain dan para pengikutnya. Padang Karbala menjadi saksi nyata atas pembantaian itu.

Jika dilihat dari sisi empati, merupakan sesuatu yang wajar bila kaum Syiah mengagungkan tanah Karbala dan turbah Husainiyah, walaupun secara hukum syariat dalam pandangan kaum Sunni sikap itu bisa dipandang sebagai bid’ah dan sangat rentan terhadap masuknya unsur-unsur kemusyrikan (kultus).

Bagi al-Husain sendiri, peristiwa itu merupakan ujung tombak perjuangan merubah kemungkaran Yazid bin Muawiyah dalam perombakan sistem pemilihan bagi khilafah Islam. Insya-allah, perjuangannya itu bernilai syahid bagi dirinya dan para pengikut setianya yang ikhlas dalam perjuangan.

Riwayat singkatnya terjadi ketika Muawiyah Ra meninggal dunia dan sebelumnya telah mengangkat Yazid sebagai khalifah. Imam Husein yang enggan berbaiat kepada Yazid segera melarikan diri ke Mekkah. Sesampai di Mekkah penduduk kota Kufah mengirimkan surat yang jumlahnya mencapai 12000 pucuk surat, yang isinya meminta sang Imam untuk berangkat ke Kufah, di mana penduduknya sudah bersiap sedia untuk membaiat Imam Husein sebagai khalifah. Di antara isi surat itu adalah memberitahu sang Imam bahwa di Kufah terdapat 100000 pasukan yang siap berdiri di belakangnya untuk melawan Bani Umayyah (Al Qazweini, Faji'atu Thaff, hal 6)

Membaca surat itu, sang Imam yakin akan kesiapan 100000 penduduk Kufah yang telah siap dengan pedang terhunus untuk melawan dan memerangi "kezhaliman bani Umayah". Imam Husein akhirnya berangkat menuju kufah bersama keluarganya. Namun kali ini imam tertipu. Sebelum sampai ke kota Kufah, rombongannya dicegat oleh tentara suruhan Ibnu Ziyad yang dipimpin oleh Umar bin Saad. Ketika rombongan sang Imam dicegat, kita tidak mendengar 100000 pasukan yang konon siap membela Imam Husein itu ikut membela dan berperang melawan musuhnya, kita tidak tahu kemana perginya mereka, begitu juga 12000 orang yang menuliskan surat ketika sang Imam berada di Mekkah. Jika 100000 orang yang mengaku pembela Imam itu ikut berada di padang Karbala, pasti "tentara bani Umayah" dapat dengan mudah dikalahkan. Mereka yang memanggil sang Imam begitu saja lari dari tanggungjawab. Mereka tega membiarkan cucu sang Nabi terakhir dijadikan bulan-bulanan, mereka tega darah suci keluarga Nabi tumpah akibat larinya mereka dari tanggungjawab. Di dunia mereka bisa lari, namun di akhirat kelak tidak. Sang Imam beserta rombongannya dibiarkan begitu saja menjadi korban pengkhianatan mereka yang mengaku sebagai pengikut dan pembelanya. Rupanya inilah karakter mereka yang mengaku-aku dan sok menjadi pembela ahlulbait sejak zaman para imam.

Akhirnya sang Imam pun Syahid menjadi korban pengkhianatan mereka yang mengaku menjadi pembelanya. Sang Imam Syahid beserta para keluarganya, di antaranya adalah saudara sang Imam, putra Ali bin Abu Thalib dari istri selain Fatimah, yang bernama Abubakar, Umar, Utsman. (Al-Askari, Ma'alimul Madrasatain, jilid 3 hal 127; Al-Mufid, Al-Irsyad, hal. 197; Thabrasi, I'lamul Wara, hal 112; Al-Arbali, Kasyful Ghummah, jilid 1 hal 440)

Selain itu, putra Imam Husein sendiri ada yang menjadi korban, di antaranya adalah Abubakar bin al-Husain dan Umar bin al-Husain.

Kebiadaban tentara Ibnu Ziyad nampak dalam perlakuan mereka terhadap jenazah para korban. Imam At-Thabari mencatat bahwa para korban ini kepalanya diarak-arak berkeliling negeri Kufah. Masya-allah.

“Ya Allah, berikanlah maghfirah kepada kami dan kepada saudara-saudara kami yang mereka lebih dahulu beriman daripada kami, dan janganlah Engkau menjadikan dalam hati kami ada rasa benci kepada orang-orang yang sama-sama beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Pemurah dan Maha Penyayang”. (QS al-Hasyr)


Sumber:
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bary; Syarh Shahih al-Bukhari.

Muhammad Kazhim Al Qazweini, Faji'atu Thaff

Murtadha Al Askari, Ma'alimul Madrasatain

Muhammad bin Nukman Al Mufid, Al Irsyad

Thabrasi, I'lamul Wara

Al Arbali, Kasyful Ghummah

0 comments:

Post a Comment

Langganan Artikel

Dengan mengisi data di sini, sobat akan menerima artikel-artikel baru dari kangyosep.blogspot.com

Masukkan alamat email sobat di sini:

Dipersembahkan oleh: LANGGANAN KAMI