Wilujeng Sumping, alias SELAMAT DATANG... di blog simkuring... moga-moga aya manfaat nu tiasa katampi... hapunten nu kasuhun... bilih aya raheut manah...

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

28 November 2009

Penetapan dan Pembatalan Nikah

Islam, melalui ajaran samawinya, datang dan memperlihatkan perhatiannya terhadap sistem pernikahan yang tidak baik dalam membangun tatatan keluarga dan masyarakat yang bersih. Lalu Islam menghancurkan sistem pernikahan tersebut dari asasnya selain pernikahan yang sudah dikenal di kalangan kaum muslimin masa kini. Bahkan Islam menetapkan sistem tersebut. Dengan demikian, Aisyah menyatakan di akhir penjelasannya tentang pernikahan Jahiliyah yang ia sebutkan, dengan kata-kata sebagai berikut, “Ketika Nabi Muhammad Saw diutus membawa kebenaran, beliau menghancurkan semua sistem pernikahan Jahiliyah kecuali pernikahan yang berlaku masa kini”. (Sahih Al-Bukhari, 2-3: 177; Sunan Abu Dawud, 1: 528)

Hadis ini menunjukkan pengharaman atas tiga sistem pernikahan karena ketiganya termasuk perbuatan yang benar-benar zina. Sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu termasuk perbuatan keji dan jalan terburuk”. (QS Al-Isra: 32)
Adapun sistem yang kelima, yakni nikah Syigar, telah dinyatakan secara sahih bahwa Rasulullah Saw melarangnya. Hadis dari Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasulullah Saw telah melarang nikah Syigar.
Keterangan:
Hadis ini seterusnya adalah sebagai berikut, “Dan syigar itu adalah seorang laki-laki menikahkan anak wanitanya agar suami anaknya bisa menikahkan ia kepada anaknya. Di antara keduanya tidak ada mahar. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Jama’ah, tetapi At-Tirmidzi tidak menyebutkan penjelasan syigar. Sedangkan Abu Dawud mengatakan bahwa penjelasan syigar datang dari Nafi (salah seorang periwayat). Demikian faktanya sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslim. (As-Syaukani. Nail al-Authar. 3, Jld 2: 159)
Dalam riwayat lain, masih dari Ibnu Umar, ia menyatakan dari Nabi Saw yang telah bersabda, “Tidak ada syigar dalam Islam”. (HR Muslim; Abdur Razak dari Anas secara marfu’ dan riwayat at-Thabrani dari Abu Ka’ab secara marfu’ juga. Demikian kutipan dari Nail al-Authar. 6: 159)
Sistem yang keenam, nikah Maqtun, dalam al-Quran sudah ada larangannya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kalian menikahi wanita yang dinikahi oleh bapak-bapakmu kecuali yang telah berlalu. Sesungguhnya perbuatan itu termasuk perbuatan keji, maqtun (yang dibenci), dan jalan terburuk”. (QS An-Nisa: 22)
Allah Ta’ala mengakhiri ayat-Nya dengan celaan yang benar-benar mengena dan berurutan. Ini menunjukkan bahwa semua itu termasuk perbuatan yang paling buruk, termasuk sasarannya. (Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkam al-Quran. 5: 104)
Sistem ketujuh, nikah Khadn, Allah SWT juga telah melarangnya dalam al-Quran ketika Dia berfirman, “Nikahilah mereka dengan izin keluarganya dan berilah mahar dengan cara yang baik dalam keadaan menjaga diri dari zina, bukan dengan zina secara terang-terangan dan bukan pula zina secara sembunyi-sembunyi”. (QS An-Nisa: 25)
Dalam ayat lainnya, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kalian mendekati perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi”. (QS Al-An’am: 151)
Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Orang-orang Arab biasanya menganggap aib terhadap zina yang dilakukan secara terang-terangan dan tidak menganggap aib atas zina yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Lalu Islam menghilangkan semuanya. Dalam hal itulah, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kalian mendekati perbuatan keji …”. (Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkam al-Quran. 5: 143)
Sistem kedelapan, nikah Badal, termasuk perbuatan haram yang dikategorikan dalam hadis Aisyah terdahulu. Selain itu, berdasarkan kesepakatan ahli-ahli hadis, pernikahan tidak dipandang sah kecuali ada akad. Karena itu, nikah Syigar diharamkan sebab di dalamnya ada semacam pergantian (barter). Bahkan sistem ini lebih buruk.
Sistem kesembilan, nikah Mut’ah, adalah tema utama pembahasan buku ini. Keterangan syar’i tentang penjelasan status hukumnya akan dibahas pada halaman berikutnya.
Adapun sistem kesepuluh, nikah Zha’inah, juga sudah dibatalkan oleh ajaran Islam. Sistem ini juga termasuk salah satu kategori dari keumuman hadis Aisyah di atas ketika ia menyatakan, “Tatkala Nabi Muhammad Saw diutus membawa kebenaran, hancurlah semua sistem pernikahan masa Jahiliyah kecuali sistem yang berlaku (secara sah) pada masa sekarang”. (HR Al-Bukhari dan Abu Dawud)
Selain itu, nikah dalam kategori syariat mengharuskan adanya akad, wali, dan saksi. Sedangkan sistem ini tidak memenuhi persyaratan tersebut.


Macam-Macam Nikah Masa Jahiliyyah

Nikah, kumpul kebo, dan pelacuran termasuk perkara yang sudah ada dan dikenal dalam sistem masyarakat Jahiliyah. Ketika Islam datang dengan membawa hidayah dan agama yang benar kepada seluruh manusia, agama ini menetapkan syariat nikah dan mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita dalam bentuk yang terbaik.
Bentuk-bentuk pernikahan, baik dalam arti akad maupun senggama, yang berlaku pada masa Jahiliyah secara jelas tergambar dalam uraian berikut.


Dari Urwah bin Zubair, sesungguhnya Aisyah istri Nabi Saw mengabarkan bahwa nikah pada zaman Jahiliyah terdiri dari empat cara, yaitu sebagai berikut.
1. Nikah seperti yang sudah biasa dilakukan oleh orang-orang pada masa kini, yakni seseorang meminang wanita, baik melalui walinya maupun secara langsung, kemudian dia menerima dan menikahinya.
2. Nikah Istibdha, yakni seorang suami mengatakan kepada istrinya ketika ia sudah bersih dari haidnya, “Utuslah aku agar mendatangi si Fulan supaya ia bisa bersenggama (nikah) denganmu hingga kamu hamil”. Lalu suaminya menjauhi istrinya dan tidak pernah menyentuhnya sampai jelas kehamilannya dari si fulan. Ia melakukan hal itu hanya untuk mengharapkan anak dari si fulan.
3. Nikah dengan cara beberapa orang (3-10 orang) berkumpul untuk bersenggama dengan seorang wanita. Apabila wanita itu hamil dan melahirkan, beberapa hari setelah melahirkan, wanita itu datang kepada mereka. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat bersenang-senang dengannya sampai mereka berkumpul. Lalu wanita itu berkata kepada mereka, “Kalian sudah tahu urusan kalian semua. Kini aku sudah melahirkan. Ini anakmu (sambil menunjuk salah seorang di antara mereka)”. Kemudian ia menyerahkan anaknya dan tidak ada seorang pun yang bisa membantah putusannya.
4. Nikah dengan cara beberapa orang berkumpul, lalu masuk ke kamar seorang wanita. Wanita itu pun tidak dapat mencegah laki-laki yang mendatanginya. Wanita-wanita ini adalah para pelacur. Di depan pintu-pintu kamar itu terpampang papan nama. Siapa saja yang menginginkan salah satu nama, maka ia akan masuk ke kamar tersebut. Bila di antara wanita itu ada yang hamil dan melahirkan, maka beberapa orang laki-laki tadi berkumpul dan memanggil seorang ahli (yang bisa mengenali keserupaan anak dan bapaknya). Kemudian ia menyerahkan anaknya (kepada laki-laki yang ditunjuk). Ia pun harus mengakui anaknya. Tidak ada seorang pun yang bisa membantah putusan dari seorang ahli tersebut. (HR Al-Bukhari. 2-3: 177; Abu Dawud. 1: 528; Ad-Daraquthni. 2-3: 216)
5. Nikah Syigar (silang), yakni seorang laki-laki menikahkan anak wanitanya atau saudaranya dengan seseorang supaya ia sendiri bisa menikahi anak atau saudara orang tersebut dan setiap pihak tidak membayar maharnya.
Pada masa Jahiliyah, seorang laki-laki berkata, “Nikahkanlah aku dengan cara syigar”. Maksudnya, nikahkanlah aku dengan anakmu, maka aku akan menikahkanmu dengan anakku tanpa mahar di antara kita. (Abdur Razak. Mushannaf. 6: 183; Al-Baihaqi. As-Sunan al-Kubra. 7: 198; Ibnu Hajar. Fath al-Bari. 9:193)
Yang membedakan pernikahan ini dengan sistem yang lain adalah dua cara silang dan tidak ada mahar di dalamnya. (Ibnu Hajar. Fath al-Bari. 9: 194)
6. Nikah Maqtun atau Nikah Dhaizan, yaitu seorang wanita pada masa Jahiliyah, bila suaminya meninggal dunia, maka anak atau kerabatnya lebih berhak menikahinya daripada orang lain, jika anak atau kerabatnya itu ingin menikahinya. Tetapi jika ia ingin menghindari pernikahan selama masa-masa tertentu, menurut sebagian besar para ahli, disebut nikah Mamqut karena mereka memutlakkan lafad muqti dan maqit kepada anak suaminya.
7. Nikah Khadn, yakni orang-orang Arab pada masa itu menganggap aib atas perlakuan zina secara terang-terangan, tetapi tidak dianggap aib jika hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Karena itu, mereka menyatakan, “Sesuatu yang tidak terlihat terang-terangan, maka tidak apa-apa dan jika mengabarkan perbuatan yang terang-terangan termasuk cela bagi mereka” . (Ibnu Hajar. Fath al-Bari. 9: 184; Shadiq Khan. Fath al-Bayan. 2: 254)
8. Nikah Badal. Imam Ad-Daraquthni, dalam As-Sunan, meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa badal pada masa Jahiliyah terjadi jika seorang laki-laki berkata kepada yang lain, “Singgahkanlah istrimu untukku dan aku akan menyediakan istriku bagimu. Bahkan aku bisa menambah (masanya)”.
Keterangan:
Hadis ini lengkapnya sebagai berikut, “Allah SWT menurunkan ayat (Dan janganlah engkau menggantikan pasanganmu walaupun kecantikannya membuat kamu kagum). Ia berkata, ‘Lalu Uyainah bin Hishan al-Fazari menghadap Rasulullah Saw sedangkan di samping Rasul ada Aisyah. Ia masuk tanpa izin. Lalu Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‘Hai Uyainah, di mana kau letakkan permintaan izin?’ Ia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku tidak pernah meminta izin kepada seorang pun di kalangan Mudhar sejak aku mengenalnya’. Ia berkata lagi, ‘Siapakah al-humaira (yang kulitnya kemerah-merahan) yang ada di sampingmu ini?’ Rasul menjawab, ‘Ini Aisyah Ummul Mukminin’. Ia berkata lagi, ‘Bukankah telah turun bagimu dari orang yang paling baik akhlaknya’. Beliau bersabda, ‘Hai Uyainah, sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu’. Abu Hurairah berkata, ‘Maka ketika ia keluar, Aisyah bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah dia?’ Rasul menjawab, ‘Orang dungu yang ditaati dan ia, sebagaimana engkau lihat, adalah tokoh bagi kaumnya’. Demikianlah periwayatan hadis tersebut.
9. Nikah Mut’ah, yakni menikahi seorang wanita selama beberapa hari, kemudian mengosongkan jalannya sebagai ganti. (Jawwad Ali. Al-Mufashal fi Tarikh al-‘Arab qabla al-Islam. 5: 536)
10. Nikah Zha’inah. Orang-orang Jahiliyah, sebagian di antara mereka suka menahan sebagian yang lain. Apabila seorang laki-laki menahan seorang wanita, maka ia berhak menikahinya tanpa khitbah dan mahar karena wanita itu dianggap sebagai hamba sahaya dan ia tidak punya pilihan lain. (Jawwad Ali. Al-Mufashal fi Tarikh al-‘Arab qabla al-Islam. 5: 546)


Pengertian Nikah

Secara etimologi, nikah artinya berkumpul dan memasukkan. Misalnya tanakahat al-asyjar (pohon-pohon itu telah nikah) diucapkan bila sebagian pohon berkumpul dan bersatu dengan pohon lainnya. Contoh lainnya nakahtu al-qomha fi al-ardh (aku nikahkan gandum itu ke tanah) diucapkan bila saya menanamnya dan menaburkan benihnya ke dalam tanah. (Al-Jauhari. As-Shihhah. I: 413; Al-Zubaidi. Taj al-‘Arus. II: 242-243)
Sedangkan dari segi syari’at, nikah adalah akad antara dua pasangan yang menghalalkan terjadinya senggama dengan menggunakan lafad “menikahkan, menjodohkan, atau lafad-lafad lainnya”. (Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib. Al-Iqna. II: 63)

Lafad nikah, secara hakiki, dinyatakan dalam arti akad dan secara majazi dalam arti senggama. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan para ulama. (Ibnu Hajar. Fath al-Bari. IX: 103)
Dalil yang menunjukkan kesesuaian pendapat di atas adalah banyaknya penggunaan lafad nikah dalam Al-Quran dan As-Sunnah dengan makna akad sehingga para ulama menyebutkan bahwa semua lafad nikah dalam Al-Quran bermakna akad. Tetapi Ibnu Faris mengecualikan firman Allah Ta’ala berikut.
“Dan ujilah anak-anak yatim itu hingga mereka mencapai nikah”. (QS an-Nisa: 5)
Ibnu Faris mengatakan, maksud lafad nikah dalam ayat itu adalah masa balig. (Ahmad bin Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughah. V: 475)
Ada juga yang mengatakan, lafad nikah digunakan secara hakiki dalam arti senggama dan secara majazi dengan makna akad. Pendapat ini berdasarkan hadis Nabi Saw berikut.
“Menikahlah, pasti jumlah kalian akan banyak”
“Allah SWT melaknat orang yang menikahi tangannya”


Keterangan:
1. Dari Ibnu Umar secara marfu’ (sampai kepada Nabi), beliau bersabda, “Beribadah hajilah, pasti kalian akan merasa berkecukupan. Biasakanlah safar (bepergian), pasti kalian akan sehat. Menikahlah, pasti jumlah kalian akan banyak. Sesungguhnya aku sangat menginginkan kalian menjadi umat yang terbanyak”. (HR Ibnu Mardawaih)
Al-Hafidh Al-‘Iraqi berkata, sanad hadis ini dhaif. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini dalam Al-Ma’rifat secara mursal dan sanadnya juga dhaif. Demikian dikutip dari Al-Manawi Faid al-Qadir bi Syarh al-Jami’ al-Saghir (3: 269).
2. Hadis menikahi tangan merupakan bagian dari hadis yang diriwayatkan dengan lafad, “Tujuh golongan. Allah SWT tidak akan melihat (memperhatikan) mereka ….”. Salah satunya adalah orang yang menikahi tangannya (masturbasi).
Ibnu Hajar telah menjelaskan orang-orang yang meriwayatkan hadis ini dan orang yang menyatakan kedhaifannya. (At-Talkhis al-Habir, 2-3: 188)

Golongan lainnya menyatakan, lafad nikah merupakan lafad musytarak yang bermakna ganda. Lafad ini digunakan secara umum pada posisi masing-masing (antara akad dan senggama). Mereka mengatakan, lafad nikah tidak dapat dipahami maksudnya hanya dengan salah satu makna kecuali ada qarinah (keterangan yang menunjukkan kejelasan maknanya). Misalnya Anda mengatakan, “Ia menikahi anak si fulan”, dengan maksud akad dan “Ia menikahi pasangannya”, dalam makna senggama. Maka qarinahnya adalah kalimat yang menjelaskan maksudnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar sudah mengkritisi pendapat ini beserta penerimaannya karena banyak juga riwayat yang menegaskan lafad nikah digunakan dalam arti akad. (Ibnu Hajar. Fath al-Bari. 9: 103)


Langganan Artikel

Dengan mengisi data di sini, sobat akan menerima artikel-artikel baru dari kangyosep.blogspot.com

Masukkan alamat email sobat di sini:

Dipersembahkan oleh: LANGGANAN KAMI